Pages

Pages - Menu

Pages - Menu

Sabtu, 21 Februari 2015

MENDEKATI PENYESALAN

Kira-kira sepuluh jam yang lalu sebuah nomor tak dikenal menghubungiku. Seingatku aku tidak pernah menyebarkan atau memberi nomorku pada orang lain, apalagi yang tidak aku kenal. Aku kembali mengerjakan tugas kantorku, namun handphone ku kembali berdering memunculkan nomor yang tadi mencoba menghubungiku. Kuputuskan untuk mengangkatnya.

"Halo. Dengan Pak Bian?" Suara lembut seorang wanita yang kudengar saat menjawab panggilan tersebut.
"Iya. Benar. Maaf dengan Ibu siapa dan ada perlu apa ya?" Tanyaku tanpa basa-basi.
"Saya Siska saya menghubungi Bapak karena dapat dari kertas yang Bapak tempelkan___" aku memotong ucapannya.
"Apa Ibu menemukan orang yang saya cari?" Aku bangun dari posisi dudukku menjadi berdiri.
"Iya pak. Saya menemukannya satu minggu yang lalu"
"Syukurlah. Terima kasih,sekarang Ibu ada dimana? Biar saya segera kesana"
Setelah mencatat alamat yang diberikan oleh Ibu Siska, aku langsung memacu mobilku ketempat tersebut.

Tiga bulan yang lalu orang itu menghilang, aku sangat khawatir dan melaporkannya ke polisi, tapi tidak ada kabar dan kemajuan. Lalu aku menyebarkan selembaran kertas berisi data diri beserta foto orang hilang yang selama ini aku cari, tapi belum ada yang melaporkan. Tapi barusan aku mendapat kabar. Ah betapa bahagianya aku saat ini. Terima kasih Tuhan.

Aku memakirkan kendaraanku disebuah rumah yang sederhana. Aku melihat kertas yang kubawa dan mencocokan dengan rumah dihadapanku. Benar ini alamatnya.
Aku melangkahkan kakiku menuju pintu rumah itu.

"Permisi?" Ucapku sambil mengetuk pintu. Tak lama keluar seorang ibu berusia empat puluhan mengenakan jilbab dilanjut dengan seorang Bapak-Bapak dibelakangnya. Sepertinya itu suaminya.
"Selamat siang Bu, dengan Ibu Siska?" Tanyaku.
"Betul. Ini Pak Bian?" Jawabnya ramah.
"Iya Bu"
"Silahkan-silahkan, ayo masuk. Duduk dulu, Sebentar saya panggilkan" aku duduk di sofa merah itu. Tak lama Ibu Siska keluar dengan mendorong kursi roda.
Aku menghambur kepelukan orang yang selama ini aku cari.
"Maafkan saya Pak" pria itu hanya menepuk-nepuk pundakku.
"Maafkan saya Pak, saya lalai" sungguh aku menyesal ketika Bapak menghilang dari rumah.
"Sudah-sudah ini bukan salah kamu. Saya maafkan" kata Bapak.
Aku mendongak menatap Ibu Siska.
"Minggu kemarin saya menemukan Bapak ini di halte. Saya teringat selembaran yang saya dapat dua hari sebelum menemukan Bapak ini. Tentang data orang hilang. Setelah saya lihat ternyata mirip dengan Bapak ini. Lalu saya bawa kerumah. Saya ingin mengabarkan tapi sudah larut jadi tidak enak dan Bapak ini juga yang bìlang jangan dikabarkan dulu" ucap suami Ibu Siska.
"Iya. Kami menemukan Bapak ini juga dalam keadaan maaf kakinya sedikit pincang, lalu saya tanya kenapa, Bapak ini bilang keserempet motor. Jadi lusanya kami belikan Bapak kursi roda" lanjut Ibu Siska.
"Terima kasih Bu, Pak. Terima kasih. Saya senang sekali Bapak bisa ketemu." Ibu Siska dan suaminya mengangguk lalu tersenyum.
"Biar saya gantikan biaya kursi rodanya" tawarku hendak mengeluarkan dompet disaku tapi ditahan dengan ucapan Ibu Siska.
"Tidak Pak, tidak usah kami ikhlas membantu Bapak ini"
"Terima kasih, kalau begitu saya pamit dulu Pak, Bu. Saya harus segera memberitahukan istri saya. Sekali lagi terima kasih. Semoga kebaikan Bapak dan Ibu dibalas"
"Aamiin, sama-sama. Saya senang bisa mempertemukan Bapak ini dengan keluarganya lagi. Hati-hati ya Pak Bian"  aku hanya mengangguk.

Setelah berpamitan pada Ibu Siska dan suaminya, aku melajukan mobilku menuju rumah. Hana akan senang mendengar kabar ini. Aku melihat mobil Hana sudah terparkir didepan garasi. Lalu aku memarkirkan mobil di depan rumah, aku membawa Bapak masuk. Aku mau memberi kejutan pada Hana. Tapi Hana yang duluan keluar dan melihat kami. Dia mematung didepan pintu sebelum akhirnya berlari memeluk Bapak.

"Bapak. Maafkan aku, aku sungguh menyesal" ucapnya disela isakan.
"Harusnya aku gak melakukan itu sama Bapak, aku benar-benar menyesal Pak"
"Sudah nak, sudah. Kamu sudah Bapak maafkan dari awal. Maafkan Bapak juga membuat kalian jadi khawatir, tapi Bapak melakukan ini atas keinginan Bapak sendiri, bukan karena kamu"
"Mulai sekarang Hana akan berhenti bekerja dan mengurus Bapak dirumah. Hana sadar Pak kalau Bapak segala-galanya. Hanya Bapak dan Mas Bian yang Hana punya sekarang" Hana terus menciumi tangan Bapak.

Aku tak percaya mendengar ucapan istriku yang akan Resign dari kantor. Kebahagiaanku bertambah. Aku teringat mungkin Bapak keluar dari rumah karena mendengar perbincangan aku dan istriku saat itu. Walaupun hanya sekedar opini.

Flashback...

"Hana kenapa kamu? Sedang ada masalah?" Tanyaku, karena melihat Hana yang diam bergelut dengan pikirannya.
"Aku mau bicara nih mas"
"Ya tinggal bicara saja, ada masalah di kantor ya?"
"Bukan,bukan dikantor tapi dirumah"
"Kenapa dengan rumah kita?"
"Ini masalah Bapak"
"Ada apa dengan Bapak?"
"Aku terpikir gimana kalau Bapak kita titipkan di panti jompo" aku terkejut dengan pendapatnya itu.
"Kamu kok berpikir seperti itu? Kamu nggak boleh begitu dengan Bapakmu sendiri Hana. Aku tidak setuju!" Aku Sangat tidak setuju. Opini macam apa itu?
"Tapi ini untuk kebaikan Bapak mas"
"Kebaikan apanya? Itu sama saja kamu menelantarkan orang tuamu sendiri!"
"Ini demi kebaikan Bapak mas, aku sayang sama Bapak. Dia selalu dirumah tidak ada yang mengurusnya. Kita kan sama-sama pulang kantor itu tidak selalu sore saja kadang ada malamnya. Kan kasihan Bapak"
"Rasa sayang jenis apa itu? Kalo kamu kasihan dan sayang sama Bapak seharusnya kamu tidak mengeluarkan opini seperti itu, menitipkan Bapak dipanti jompo. Menurut aku lebih baik kamu yang resign dari kantor, jadi kamu fokus dirumah dan merawat Bapak. Biar aku saja yang mencari nafkah, toh memang itu tugasku sebagai kepala keluarga"
"Tapi aku gak bisa ninggalin kantor gitu aja mas"
"Jadi kamu lebih bisa ninggalkan Bapak sendiri dirumah daripada meninggalkan kantormu?"
Setelah mengucapkan itu istriku seperti menyadari dia termenung.
"Bapak itu orang tua kita, aku sudah menganggap Bapak seperti orang tuaku juga, aku sudah merasakan tidak enaknya hidup tanpa orang tua Han, dan kamu gak boleh bersikap seperti itu. Nanti kalau kita punya anak dan kamu sudah lanjut usia kamu akan diperlakukan seperti itu juga, dititipkan dipanti jompo. Kamu mau?"
Dia hanya menggelengkan kepala.
"Hukum karma itu ada Hana" aku menegaskannya kembali.
"Aku sampai kapanpun tak akan menyetujui opini anehmu itu!"
"Apa yang mas katakan benar, aku salah. Tidak seharusnya aku seperti itu" syukurlah kalau dia menyadari apa yang akan dia lakukan itu salah. Dan kini dia terisak.
"Akan kuusahakan aku akan resign secepatnya mas, tapi berikan aku waktu"
"Ya baguslah. Aku lebih suka kamu kerja dirumah sebagai ibu rumah tangga yang sebenarnya. Sudahlah jangan menangis"
Setelah aku nasihati malam itu juga istriku menyadari semua ucapannya yang salah. Aku bersyukur dia tidak akan melakukan hal aneh itu. Dan dia akan mencoba resign dari kantornya.

Tapi yang tak diinginkan terjadi. Seminggu setelah percakapan aku dan istriku tentang opini gila itu, Bapak menghilang. Kami sangat panik dan khawatir melihat keadaan Bapak yang sudah lanjut. Kami baru bisa melapor kepolisi setelah 2x24 jam. Kami menunggu kabar dari polisi tapi tak ada. Seminggu sudah berlalu tapi Bapak belum juga ditemukan. Aku lalu membuat selembaran tentang ciri-ciri Bapak beserta fotonya. Hari demi hari kami menunggu dalam penantian. Tapi belum ada kabar tentang Bapak. Istriku larut dalam kesedihan, setiap hari dia menangisi Bapak. Hingga tadi pagi aku mendapat telpon dari seseorang yang menemukan Bapak.

Flashback end

Dan kini aku sangat bahagia kami telah berkumpul kembali.

"Bapak kenapa bisa duduk dikursi roda?" Tanya Hana, ah iya aku lupa memberitahunya kalau Bapak keserempet motor.
"Ah ini, waktu itu pas Bapak mau nyebrang Bapak gak lihat dari arah kanannya, jadi Bapak keserempet motor deh"
"Maafkan aku pak, ini semua salah aku. Aku sayang sama Bapak tapi caraku salah. Mulai sekarang aku akan menyayangi dan merawat Bapak dengan cara yang benar. Maafkan aku Pak"
"Sudahlah. Maafkan Bapak juga jika selama ini Bapak selalu menyusahkan dan merepotkan kamu dan Bian. Kemarin itu Bapak hanya ingin meringankan bebanmu saja"
"Tidak Pak. Bapak tidak menyusahkan saya maupun Hana. Sudah kewajiban kami mengurus Bapak. Kami senang jika ada Bapak dirumah" ucapku, memang benar jika ada Bapak atau Orang tua di rumah, rumah akan terasa lebih hangat.
"Iya Pak, benar kata mas Bian"
"Sudah malam. Bapak istirahat dulu ya" tawar Hana dengan senyuman menghiasi wajahnya. Bapak hanya mengangguk.

Setelah mengantarkan Bapak kekamar, Hana kembali menghampiriku.

"Makasih ya mas. Aku akan merawat Bapak dengan penuh sayang dan cinta, juga dengan cara yang benar" janjinya dengan senyuman.
"Aku juga makasih. Kamu tidak melakukan hal itu, dan aku juga senang jika kamu akan resign dari kantor"
"Iya mas"

Hampir mendekati penyesalan bagi kami jika tidak menemukan Bapak. Aku sangat bersyukur hal yang tidak diharapkan itu tak terjadi. Aku percaya bahwa hukum karma itu ada, baik sekarang atau nanti. Jika kita melakukan sesuatu pada orang tua akan terbalas. Baik dibalas baik, dan buruk dibalas buruk.
Terima kasih Tuhan.

~end~

Cerita ini diikutsertakan dalam GA Kalimat Pertama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar